Dijaman ini, sudah banyak film-film import luar negri yang
beredar di Indonesia. Terutama di bioskop-bioskop kota besar. Hal ini sangat
mempengaruhi dunia perfilman Indonesia, dimana orang-orang Indonesia sudah
mulai mencoba untuk membuat tayangan 3D di televisi beberapa tahun lalu. Saat itu,
untuk menontonnya dibutuhkan kacamata khusus berbahan karton dan plastic transparan
berwarna merah dan biru kehijauan.
Teknologi 3D sendiri pertama kali dikembangkan oleh JC d’Almeida
yang memberikan demonstrasi tentang gambar-gambar stereoscopic yang
diproyeksikan secara bergantian dan dilihat menggunakan kacamata merah dan
hijau. Beberapa tahun kemudian, mulailah banyak rumah produksi yang menggunakan
cara tersebut untuk pembuatan film. Dan hasilnya sangat disambut dengan baik,
mulailah banyak beredar film-film dengan teknologi 3D.
Teknologi digital baik untuk pengambilan gambar (kamera),
pasca produksi maupun untuk penayangan (sistem proyektor) telah memberikan
kemudahan bagi pengadaan film 3D. Pembuatan film 3D pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga
jenis, live action, animasi, dan konversi 2D ke 3D. Pembuatan film live action
membutuhkan dua tahapan: syuting dengan kamera 3D dan pasca produksi (editing,
colorgrading, mastering, dan sebagainya).
Konversi 2D ke 3D merupakan proses alternatif.
Pengambilan
gambar dilakukan secara 2D namun dalam pasca produksi dilakukan keputusan bahwa
film juga diedarkan secara 3D. Proses konversi 2D ke 3D merupakan proses yang
sangat intensif karena dilakukan duplikasi semua frame film agar didapat gambar
ganda untuk mata kanan dan kiri sehingga biaya paska produksi membengkak.
Kesuksesan film 3D di tahun 2000 ini, para pembuat film di
Hollywood melihat bahwa teknologi digital memberikan mereka kendali yang lebih
baik dalam membuat dan menayangkan film 3D sebagai tontonan mainstream. Dengan
kesuksesan film-film ini membuat Hollywood berlomba-lomba memproduksi film 3D
dan mempercepat konversi sinema digital secara global.
Penayangan film 3D di bioskop digital memerlukan dua
proyektor interlocking atau satu proyektor dengan dua lensa. Selain itu
diperlukan alat untuk mengatur agar proyektor optik bisa memutar film 3D. Real
D merupakan sistem 3D bioskop yang paling banyak digunakan pada saat ini karena
efek tiga dimensi yang dihasilkan tetap stabil walaupun penonton melihat dalam
posisi kepala mendongak atau menunduk. Ini disebabkan karena teknologi circular
polarization yang ada di lensa kaca mata dan sebuah perangkat untuk mengatur
pencahayaan yang dipasang di proyektor optik. Selain itu dari faktor ekonomis,
harga kaca mata circular polarization lebih murah daripada kaca mata
berteknologi lain seperti LCD.
Dengan adanya teknologi film 3D ini, seluruh masyarakat bisa
menikmati film seperti merasakan hal yang terjadi dalam film tersebut. Ini
menjadi daya tarik yang sangat kuat dalam dunia perfilman baik nasional maupun
dunia.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar